ALTERNATIF
PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA SISTEM SUBAK DI BALI
Oleh Gede Sedana
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra,
Denpasar
I
PENDAHULUAN
Pengembangan
pariwisata yang pesat seperti di Bali dipandang sebagai salah satu sektor yang
sangat menjanjikan karena mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui
pergerakan wisatawannya dan keterlibatan masyarakat dalam upaya peningkatan
kehidupan sosial ekonominya (Hermantoro, 2011; Mawere dan Murbaya, 2012).
Secara konvensional, pengembangan pariwisata memberikan dampak yang kurang
menguntungkan bagi masyarakat seperti adanya eksploitasi sumber daya alam.
Beberapa dampak yang menonjol di Bali adalah alih fungsi lahan dan degradasi
daya dukung sumber daya tanah dan air. Pengembangan pariwisata di Bali berbasis
budaya dimana salah satu budaya tersebut adalah budaya pertanian.
Pertanian
di Bali khususnya di lahan sawah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pembangunan pertanian di Bali. Program-program pembangunan pertanian baik yang
bersifat fisik maupun non-fisik dilakukan melalui lembaga subak tersebut. Salah
satu tantangan dan masalah yang dihadapi dalam sistem subak saat ini adalah
aling fungsi lahan yang relative tinggi. Di sisi lain, beberapa subak dengan
sistem budaya pertaniannya telah menajdi daya tarik bagi wisatawan baik
wisatawan nusantara maupun manca negara.
Pengembangan
pariwisata di Bali tidak hanya dipandang sebagai bagian dari peningkatan
ekonomi melainkan merupakan bagian dari upaya pelerstarian lingkungan atau
ekosistem. Anom, et al (2010) menegaskan bahwa pariwisata dikembangkan juga
harus mampu memperkaya sumber penghidupan dan memupuk kualitas kehidupan
manusia. Berkenaan dengan kondisi tersebut, dalam pengembangan subak diperlukan
upaya alternatif untuk yang dapat mewujudkan kelestarian sistem subak dan
meningkatkan kesejahteraan petaninya. Sal;ah satu alternatif itu adalah
pengembangan ekowisata di wilayah subak. Subak-subak di Jatiluwih merupakan
kawasan yang telah ditetapkan menjadi cultural landscape heritage oleh UNESCO.
Tulisan ini berkamsud untuk meberikan upaya alternatif dalam pengembangan
ekowisata yang berbasiskan budaya subak.
II
EKOSWISATA SUBAK
2.1
Ekoswisata dan subak
Banyak pendapat yang memberikan makna terhadap pengertian
ekowisata itu sendiri. Ekowisata diartikan sebagai suatu wisata berbasis alam
yang berkelanjutan dan berorientasi pada keberdayaan local serta tidak bersifat
konsumtif (Fennel, 1999). Wood (2002) juga memberikan pengertian yang senada
dimana ekowisata dipandang sebagai suatu kegiatan wisata yang berbasis utama
pada kegiatan wisata alam dengan memperhatikan daya dukung wisata perdesaan dan
wisata budaya.
Ceballos-Lascurain (1996) juga memberikan definisi terhadap ecotourism
sebagai environmentally responsible, enlightening travel and visitation to relatively undisturbed natural areas in order to enjoy and appreciate nature (and any accompanying cultural features both past and present) that promotes conservation, has low visitor impact, and provides for beneÞcially active socioeconomic involvement of local populations. Memperhatikan
pengertian-pengertian di atas, ekowisata mencakup beberpa aspek penting di
antaranya adalah perjalanan wisata, lingkungan alam, keterlibatan masyarakat
lokal dan budaya lokal serta kelestariannya.
2.2
Subak dan Fungsinya
Sutawan (2005) mengatakan bahwa sistem subak memiliki
peran dan fungsi yang beragam (multi-functional
roles), yang tidak semata-mata untuk menghasilkan pangan. Beberapa fungsi
subak dengan lahan sawah beririgasi tersebut adalah: fungsi produksi dan
ekonomi guna menjamin ketahanan pangan; fungsi lingkungan yang mencakup
pengendalian banjir, pengendalian erosi, pengisian kembali air tanah (ground wáter recharge), purifikasi udara
dan air serta pemberi hawa sejuk; fungsi ekologi (hábitat berbagai jenis
spesies yang memberi sumber protein bagi petani dan sangat pening bagi
terpeliharanya keanekaragaman hayati; fungsi sosial budaya, yaitu penyangga
tradisi dan nilai-nilai sosial budaya perdesaan; fungsi pembangunan perdesaan,
yaitu sumber air minum untuk ternak, cuci dan mandi bagi penduduk desa,
menyediakan kesempatan kerja bagi penduduk desa; dan fungsi ekowisata dan
agrowisata karena adanya daya tarik keindahan pemandangan berupa sawah teras
dan alam perdesaan serta kehidupan masyarakat perdesaan dan pertanian yang dilengkapi
dengan kekayaan tradisinya termasuk keanekaragaman produksi pertaniannya.
2.3
Upaya Alternatif Mengembangkan Ekowisata pada Sistem Subak
Memperhatikan
kawasan Jatiluwih yang meliputi tujuh subak, maka diperlukan berbagai upaya
untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai destinasi kawasan ekowisata guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal termasuk para petani sebagai
anggota subak. Sebagai destinasi pariwisata, Hermantoro (2011) menegaskan bahwa
terdapat beberapa tujuan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.
Menjamin
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangannya yang berbasis
komunitas;
2.
Memberikan
kepuasan wisatawan dan melebihi ekpektasinya;
3.
Memberikan
keuntungan bisnis bagi sektor swasta dan menciptakan iklim kondusif;
4.
Mengoptimalkan
dampak positif ekonomi, social dan lingkungan guna terwujud keseimbangan
pembangunan; dan
5.
Meningkatkan
citra destinasi secara politis.
Sejalan
dengan tujuan dan konsep ekowisata seperti diungkapkan tersebut di atas, dapat
dilakukan beberapa kegiatan praktis yang melibatkan berbagai sektor atau
pemangku kepentingan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi: (i) pemberdayaan
masyarakat subak; (ii) pemberdayaan masyarakat perdesaan; (iii) kebijakan
pemerintah yang kondusif; (iv) kemitraan sektor swasta dengan masyarakat.
2.3.1
Pemberdayaan subak
Wallerstein
(1992) mendefinisikan pemberdayaan sebagai berikut: “empowerment as a "social action process that promotes the
participation of people, organizations, and communities toward the goals of
increased individual and community control, political efficacy, improved
quality of community life, and social justice.". Pemberdayaan
mengandung dua prinsip dasar yang perlu diperhatikan, yaitu (i) mampu
menciptakan kesempatan atau peluang bagi masyarakat yang diberdayakan untuk
dapat mengembangkan dirinya secara mandiri dan sesuai dengan cara yang
dipilihnya sendiri; dan (ii) mampu mengupayakan masyarakat agar mereka dapat
memiliki kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan atau peluang yang telah
tercipta tersebut (Syahyuti, 2007).
Pemberdayaan dilakukan dengan pendampingan guna menjamin partisipasi subak yang
semakin tinggi (Sedana, 2013). Partisipasi yang tinggi selanjutnya dapat
mewujudkan meningkatnya sense of
belonging dan sense of
responsibility (Korten, 1987; Chambers, 1983; dan Cernea, 1991).
Subak-subak
yang berada di wilayah kawasan Jatiluwih perlu diberdayakan dengan beberapa
kegiatan seperti: (i) peningkatan pemahaman dan persepsi warga subak tentang
pengembangan ekowisata; (ii) peningkatan kapasitas warga subak dan subak dalam
pengelolaan ekowisata; dan (iii) penguatan kemampuan kepemimpinan dan manajemen
subak. Persepsi warga subak terhadap pengembangan ekowisata menjadi sangat
penting di dalam manfaat (sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan) dari
ekowisata itu sendiri terhadap mereka dan lingkungannya. Adanya manfaat yang
hendak diperoleh warga masyarakat dapat diharapkan menjadikan mereka berupaya
untuk berperan aktif dalam mengembangkan ekowisata di wilayhnya. Pada sistem
subak diperlukan untuk mengadakan penyesuaian kelembagaan, seperti adanya unit
usaha yang menangani ekowisata.
Dibawah
manajemen subak, unit ini mengkordinasikan kegiatan yang perlu dilakukan untuk
menjaga lingkungan persawahan, jaringan irigasi termasuk dengan pengelolaan
usahatani serta penyelenggaraan kegiatan sosial budaya subak. Salah satu
kegiatan dari aspek ini adalah penyelenggaraan kegiatan ritual sebagai salah
satu pengejawantahan filosofi subak yaitu Tri Hita Karana (Windia, 2006;
Sutawan, 2005). Menjaga kelestarian komponen Tri Hita Karana subak akan dapat
menjamin keberlangsungan ekowisata yang dikembangkan.
Kapasitas
subak dalam pengembangan ekowisata berkenaan dengan kemampuan mereka untuk
mencari alternatif dan kmemunculkan kreatifitas di dalam subaknya untuk
meningkatkan kesejahteraannya melalui ekowisata. Kapasitas yang meningkat ini
diharapkan subak-subak dapat menghadapi masalah dan tantangan yang dihadapinya.
Interaksi di antara para petani yang dilandasi saling percaya didorong untuk
semakin dikuatkan dan didasarkan pada aturan-aturan yang telah mereka sepakati
(Sutawan, 1991).
Kepemimpinan
subak juga menjadi faktor penting di dalam mengkoordinasi berbagai kegiatan
yang berkenaan dengan pengelolaan subak dan ekowisata di wilayahnya. Kemampuan
kepemimpinan ini juga mencakup aspek kemitraan dengan pihak lain dalam
pengelolaan ekowisata, seperti pihak swasta (pelaku pariwisata). Diharapkan
pemimpin dan pengelola ekowisata yang berada di bawah manajemen subak memiliki trust building pada internal subak dan
dengan eksternalnya.
2.3.2
Pemberdayaan masyarakat perdesaan
Pemberdayaan terhadap masyarakat perdesaan di wilayah
ekowisata juga memberikan makna untuk meningkatkan martabatnya selain
peningkatan kesejahteraan mereka melalui penguatan nilai-nilai budaya yang
telah ada (Mansperger, 1995). Pengembangan ekowisata sangat memerlukan
keterlibatan masyarakat lokal sehingga mereka tingkat kontrol yang tinggi
terhadap berbagai aktivitas yang dilakukan di wilayahnya (Liu, 1994; Woodwood,
1997). Seperti halnya pada pemberdayaan terhadap subak, pemberdayaan masyarakat
perdesaan juga dilakukan melalui pendampingan. Pada kasus di wilayah Jatiluwih,
misalnya, masyarakat perdesaan meliputi mereka yang berada di wilayah desa
dinas dan desa adat. Kedua desa ini perlu diberikan pemahaman mengenai pengelolaan
ekowisata guna menghindarkan konflik-konflik baik secara internal maupun
eksternal. Kerjasama yang mutualisme merupakan aspek yang penting untuk
didorong guna mensinergikan antara pengembangan ekowisata dan pengembangan
masyarakat perdesaan itu sendiri.
Secara umum, pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam
kaitannya dengan pengembangan ekowisata dapat meliputi pemperdayaan ekonomi,
psikologi, politik dan sosial (Scheyvens, 1999). Secara ekonomis, pemberdayaan diharapkan mampu memberikan manfaat
ekonomis yaitu tambahan pendapatan bagi masyarakat lokal dengan sistem
proporsional di antara para pelaku. Secara psikologis, pemberdayaan yang
dilakukan diharapkan mampu meningkatkan rasa kebanggaaan masyarakat lokal
karena adanya pengakuan dari masyarakat luar atau wisatawan terhadap berbagai
budaya dan nilai-nilai tradisional yang dimiliki, seperti budaya pertanian dan
nilai-nilai kebersamaan serta nilai-nilai religious subak dan masyarakat
perdesaan. Pemberdayaan politik yang
dilakukan ditujukan untuk meningkatkan peran masyarakat perdesaan, misalnya
melalui forum-forum yang ada sehingga mereka dapat mengambil keputusan penting
yang berkenaan dengan pengembangan ekowisata. Sedang pemberdayaan social
diarahkan untuk mewujudkan rasa solidaritas dan kohesi yang semakin tinggi di
antara warga masyarakat di dalam pengelolaan ekowisata. Manfaat ekonomis dari
pengembangan ekowisata dapat digunakan untuk membangun atau merehabilitasi
fasilitas-fasilitas umum dan sosial lainnya.
2.3.3 Kebijakan
pemerintah yang kondusif
Secara
eksternal, kebijakan pemerintah yang diperlukan dalam pengembangan ekowisata di
wilayah subak, seperti di kawasan jatiluwih adalah berkenaan dengan penanaman
modal atau investasi di kawasan, penetapan tata ruang, perbaikan infrastruktur
serta penguatan kapasitas masyarakat perdesaan dan subak. Kebijakan ini
dimaksudkan agar tidak terjadi ekploitasi sumber-sumber daya alam (tanah dan
air) di wilayah ekowisata dan sekitarnya. Selain itu, kebijakan ini bermanfaat
untuk mengatur pengelolaan ekowisata yang saling bersinergi antara masyarakat
subak, perdesaan dan pihak luar (swasta dan pemerintah).
Secara
riil, pengelolaan ekowisata ini memerlukan adanya peraturan perundang-undangan
yang saling berintegrasi antar berbagai sector seperti pertanian, pariwisata,
industri, pengelolaan sumber daya air, dan sektor lainnya yang terkait.
Perbaikan infrastruktur sangat penting dalam mendukung pengembangan eowisata
(seperti di kawasan Jatiluwih) sehingga akses menuju ke wilayah ekowisata
menjadi aman dan nyaman.
2.3.4 Kemitraan
sektor swasta
Kemitraan merupakan salah satu factor penting di dalam
pengelolaan ekowisata. Kondisi ini sangat wajar karena dalam pengelolaan
ekowisata terdapat berbagai pemangku kepentingan yang terlibat. Oleh karena
itu, diperlukan adanya pengaturan untuk menjamin distirbusi dan alokasi
manfaat, terutama manfaat ekonomis, dan pembagian tanggung jawab dalam
pengelolaannya. Wilkinson dan Pratiwi (1995)
menyebutkan bahwa pembagian pendapatan yang “adil” di antara para pemangku
kepentingan akan dapat menjamin keberlangsungan pengembangan ekowisata di suatu
wilayah. Dalam hal ini, pembagian yang adil dan proporsional tersebut dapat
dilakukan mellaui kemitraan yang saling menguntungkan di atara mereka.
III PENUTUP
Pengembangan
pariwisata di Bali tidak hanya dipandang sebagai bagian dari peningkatan
ekonomi melainkan merupakan bagian dari upaya pelerstarian lingkungan atau
ekosistem, seperti ekosistem sawah. Dalam pengembangan subak diperlukan upaya
alternatif untuk yang dapat mewujudkan kelestarian sistem subak dan
meningkatkan kesejahteraan petaninya. Sal;ah satu alternatif itu adalah
pengembangan ekowisata di wilayah subak.
Beberapa tujuan
yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ekowisata adalah adanya jaminan
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangannya yang berbasis
komunitas, kepuasan wisatawan dan melebihi ekpektasinya, keuntungan bisnis bagi
sektor swasta dan menciptakan iklim kondusif, dampak positif ekonomi, sosial
dan lingkungan guna terwujud keseimbangan pembangunan.
Oleh karena itu dapat
dilakukan beberapa kegiatan praktis yang melibatkan berbagai sektor atau
pemangku kepentingan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi: (i) pemberdayaan
masyarakat subak; (ii) pemberdayaan masyarakat perdesaan; (iii) kebijakan
pemerintah yang kondusif; (iv) kemitraan sektor swasta dengan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Anom,
I P., Baiquni, M, Narya, K. 2010. Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisi
Global. Denpasar: Udayana University Press.
Chambers, R. 1983. Rural Development, Putting the Last First. New York: John
Wiley
Ceballos-Lascurain, H. (1996). ¹ourism,
ecotourism and protected areas. IUCN (World Conservation Union).
Switzerland: Gland.
Cernea,
M. 1991. Putting People First: Sociological Variables in Rural Development. New
York: Oxford University Press.
Fennel,
D.A. 1999. Ecotourism: An Introduction. Routlege, London.
Hermantoro,
H. 2011. Creative-Based Tourism. Dari Wisata Rekreatif menuju Wisata Kreatif.
Yogyakarta: Galangpress.
Korten,
D.C.1987. Community Management,
Connectitut :Kumarian Press, Westaharford.
Liu, J. 1994. Pacific islands ecotourism: A public policy and planning guide. Pacific Business Center Program,
University of Hawaii.
Mansperger, M. C. (1995). Tourism
and cultural change in small-scale societies. Human Organization,
54(1), 87-94.
Mawere, M., Mubaya, T.R. 2012. The Role
of Ecotourism in Conserving the Environment and Enhancing the Status of Host
Local Communities in Developing Economies: The Case of Mtema Ecotourism Centre
in South-Eastern Zimbabwe. International Journal
of Environment and Sustainability, 1(1), 1.
Scheyvens, R. 1999. Case study Ecotourism and the empowerment of
local communities Tourism Management 20: 247-248.
Sutawan, N., Swara, M., Windia,
W., Sedana, G. dan Marjaya, I G.M.P. 1991.
“Laporan Akhir Penelitian Aksi Pembentukan Wadah Koordinasi antar Sistem
Irigasi (Subak-agung) di wilayah Kabupaten Tabanan dan Buleleng, Provinsi Bali”.
Denpasar: Pusat Penelitian Universitas Udayana.
Sutawan, N. 2005. Subak Menghadapi Tantangan Globalisasi.
Dalam
Pitana dan Setiawan AP. editor.. Revitalisasi
Subak dalam Memasuki Era Globalisasi.
Yogyakarta: Andi.
Syahyuti
(2007). Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sebagai Kelembagaan
Ekonomi Di Perdesaan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Analisis Kebijakan Pertanian. 5 (1),15-25.
Wallerstein,
N. 1992 Powerlessness, empowerment and health.Implications for health promotion
programs.American Journal of Health Promotion, 6 (3), 197–205.
Wilkinson, P., dan Pratiwi, W. (1995). Gender and
tourism in an Indonesian village. Annals of Tourism Research, 22(2), 283-299.
Woodwood, S. 1997. Report Ccashing in on the Kruger: The
potential of ecotourism to stimulate real economic growth in South Africa. Journal of Sustainable Tourism, 5(2), 166.
Wood.
E.M. 2002. Ecotourism: Principles, Practices & Policies for Sustainability,
UNEF.