Selasa, 19 Mei 2015

ekowisata pada sistem subak



ALTERNATIF PENGEMBANGAN EKOWISATA PADA SISTEM SUBAK DI BALI
Oleh Gede Sedana
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra, Denpasar

I PENDAHULUAN
Pengembangan pariwisata yang pesat seperti di Bali dipandang sebagai salah satu sektor yang sangat menjanjikan karena mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pergerakan wisatawannya dan keterlibatan masyarakat dalam upaya peningkatan kehidupan sosial ekonominya (Hermantoro, 2011; Mawere dan Murbaya, 2012). Secara konvensional, pengembangan pariwisata memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi masyarakat seperti adanya eksploitasi sumber daya alam. Beberapa dampak yang menonjol di Bali adalah alih fungsi lahan dan degradasi daya dukung sumber daya tanah dan air. Pengembangan pariwisata di Bali berbasis budaya dimana salah satu budaya tersebut adalah budaya pertanian.
Pertanian di Bali khususnya di lahan sawah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan pertanian di Bali. Program-program pembangunan pertanian baik yang bersifat fisik maupun non-fisik dilakukan melalui lembaga subak tersebut. Salah satu tantangan dan masalah yang dihadapi dalam sistem subak saat ini adalah aling fungsi lahan yang relative tinggi. Di sisi lain, beberapa subak dengan sistem budaya pertaniannya telah menajdi daya tarik bagi wisatawan baik wisatawan nusantara maupun manca negara.
Pengembangan pariwisata di Bali tidak hanya dipandang sebagai bagian dari peningkatan ekonomi melainkan merupakan bagian dari upaya pelerstarian lingkungan atau ekosistem. Anom, et al (2010) menegaskan bahwa pariwisata dikembangkan juga harus mampu memperkaya sumber penghidupan dan memupuk kualitas kehidupan manusia. Berkenaan dengan kondisi tersebut, dalam pengembangan subak diperlukan upaya alternatif untuk yang dapat mewujudkan kelestarian sistem subak dan meningkatkan kesejahteraan petaninya. Sal;ah satu alternatif itu adalah pengembangan ekowisata di wilayah subak. Subak-subak di Jatiluwih merupakan kawasan yang telah ditetapkan menjadi cultural landscape heritage oleh UNESCO. Tulisan ini berkamsud untuk meberikan upaya alternatif dalam pengembangan ekowisata yang berbasiskan budaya subak.
II EKOSWISATA SUBAK
2.1 Ekoswisata dan subak
            Banyak pendapat yang memberikan makna terhadap pengertian ekowisata itu sendiri. Ekowisata diartikan sebagai suatu wisata berbasis alam yang berkelanjutan dan berorientasi pada keberdayaan local serta tidak bersifat konsumtif (Fennel, 1999). Wood (2002) juga memberikan pengertian yang senada dimana ekowisata dipandang sebagai suatu kegiatan wisata yang berbasis utama pada kegiatan wisata alam dengan memperhatikan daya dukung wisata perdesaan dan wisata budaya.
Ceballos-Lascurain (1996) juga memberikan definisi terhadap ecotourism sebagai environmentally responsible, enlightening travel and visitation to relatively undisturbed natural areas in order to enjoy and appreciate nature (and any accompanying cultural features both past and present) that promotes conservation, has low visitor impact, and provides for beneÞcially active socioeconomic involvement of local populations. Memperhatikan pengertian-pengertian di atas, ekowisata mencakup beberpa aspek penting di antaranya adalah perjalanan wisata, lingkungan alam, keterlibatan masyarakat lokal dan budaya lokal serta kelestariannya.

2.2 Subak dan Fungsinya
Sutawan (2005) mengatakan bahwa sistem subak memiliki peran dan fungsi yang beragam (multi-functional roles), yang tidak semata-mata untuk menghasilkan pangan. Beberapa fungsi subak dengan lahan sawah beririgasi tersebut adalah: fungsi produksi dan ekonomi guna menjamin ketahanan pangan; fungsi lingkungan yang mencakup pengendalian banjir, pengendalian erosi, pengisian kembali air tanah (ground wáter recharge), purifikasi udara dan air serta pemberi hawa sejuk; fungsi ekologi (hábitat berbagai jenis spesies yang memberi sumber protein bagi petani dan sangat pening bagi terpeliharanya keanekaragaman hayati; fungsi sosial budaya, yaitu penyangga tradisi dan nilai-nilai sosial budaya perdesaan; fungsi pembangunan perdesaan, yaitu sumber air minum untuk ternak, cuci dan mandi bagi penduduk desa, menyediakan kesempatan kerja bagi penduduk desa; dan fungsi ekowisata dan agrowisata karena adanya daya tarik keindahan pemandangan berupa sawah teras dan alam perdesaan serta kehidupan masyarakat perdesaan dan pertanian yang dilengkapi dengan kekayaan tradisinya termasuk keanekaragaman produksi pertaniannya.

2.3 Upaya Alternatif Mengembangkan Ekowisata pada Sistem Subak
                Memperhatikan kawasan Jatiluwih yang meliputi tujuh subak, maka diperlukan berbagai upaya untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai destinasi kawasan ekowisata guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal termasuk para petani sebagai anggota subak. Sebagai destinasi pariwisata, Hermantoro (2011) menegaskan bahwa terdapat beberapa tujuan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.      Menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangannya yang berbasis komunitas;
2.      Memberikan kepuasan wisatawan dan melebihi ekpektasinya;
3.      Memberikan keuntungan bisnis bagi sektor swasta dan menciptakan iklim kondusif;
4.      Mengoptimalkan dampak positif ekonomi, social dan lingkungan guna terwujud keseimbangan pembangunan; dan
5.      Meningkatkan citra destinasi secara politis.

Sejalan dengan tujuan dan konsep ekowisata seperti diungkapkan tersebut di atas, dapat dilakukan beberapa kegiatan praktis yang melibatkan berbagai sektor atau pemangku kepentingan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi: (i) pemberdayaan masyarakat subak; (ii) pemberdayaan masyarakat perdesaan; (iii) kebijakan pemerintah yang kondusif; (iv) kemitraan sektor swasta dengan masyarakat.
2.3.1 Pemberdayaan subak
Wallerstein (1992) mendefinisikan pemberdayaan sebagai berikut: “empowerment as a "social action process that promotes the participation of people, organizations, and communities toward the goals of increased individual and community control, political efficacy, improved quality of community life, and social justice.". Pemberdayaan mengandung dua prinsip dasar yang perlu diperhatikan, yaitu (i) mampu menciptakan kesempatan atau peluang bagi masyarakat yang diberdayakan untuk dapat mengembangkan dirinya secara mandiri dan sesuai dengan cara yang dipilihnya sendiri; dan (ii) mampu mengupayakan masyarakat agar mereka dapat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan atau peluang yang telah tercipta tersebut (Syahyuti, 2007). Pemberdayaan dilakukan dengan pendampingan guna menjamin partisipasi subak yang semakin tinggi (Sedana, 2013). Partisipasi yang tinggi selanjutnya dapat mewujudkan meningkatnya sense of belonging dan sense of responsibility (Korten, 1987; Chambers, 1983; dan Cernea, 1991).
Subak-subak yang berada di wilayah kawasan Jatiluwih perlu diberdayakan dengan beberapa kegiatan seperti: (i) peningkatan pemahaman dan persepsi warga subak tentang pengembangan ekowisata; (ii) peningkatan kapasitas warga subak dan subak dalam pengelolaan ekowisata; dan (iii) penguatan kemampuan kepemimpinan dan manajemen subak. Persepsi warga subak terhadap pengembangan ekowisata menjadi sangat penting di dalam manfaat (sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan) dari ekowisata itu sendiri terhadap mereka dan lingkungannya. Adanya manfaat yang hendak diperoleh warga masyarakat dapat diharapkan menjadikan mereka berupaya untuk berperan aktif dalam mengembangkan ekowisata di wilayhnya. Pada sistem subak diperlukan untuk mengadakan penyesuaian kelembagaan, seperti adanya unit usaha yang menangani ekowisata.
Dibawah manajemen subak, unit ini mengkordinasikan kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjaga lingkungan persawahan, jaringan irigasi termasuk dengan pengelolaan usahatani serta penyelenggaraan kegiatan sosial budaya subak. Salah satu kegiatan dari aspek ini adalah penyelenggaraan kegiatan ritual sebagai salah satu pengejawantahan filosofi subak yaitu Tri Hita Karana (Windia, 2006; Sutawan, 2005). Menjaga kelestarian komponen Tri Hita Karana subak akan dapat menjamin keberlangsungan ekowisata yang dikembangkan.
Kapasitas subak dalam pengembangan ekowisata berkenaan dengan kemampuan mereka untuk mencari alternatif dan kmemunculkan kreatifitas di dalam subaknya untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui ekowisata. Kapasitas yang meningkat ini diharapkan subak-subak dapat menghadapi masalah dan tantangan yang dihadapinya. Interaksi di antara para petani yang dilandasi saling percaya didorong untuk semakin dikuatkan dan didasarkan pada aturan-aturan yang telah mereka sepakati (Sutawan, 1991).
Kepemimpinan subak juga menjadi faktor penting di dalam mengkoordinasi berbagai kegiatan yang berkenaan dengan pengelolaan subak dan ekowisata di wilayahnya. Kemampuan kepemimpinan ini juga mencakup aspek kemitraan dengan pihak lain dalam pengelolaan ekowisata, seperti pihak swasta (pelaku pariwisata). Diharapkan pemimpin dan pengelola ekowisata yang berada di bawah manajemen subak memiliki trust building pada internal subak dan dengan eksternalnya.
2.3.2 Pemberdayaan masyarakat perdesaan
            Pemberdayaan terhadap masyarakat perdesaan di wilayah ekowisata juga memberikan makna untuk meningkatkan martabatnya selain peningkatan kesejahteraan mereka melalui penguatan nilai-nilai budaya yang telah ada (Mansperger, 1995). Pengembangan ekowisata sangat memerlukan keterlibatan masyarakat lokal sehingga mereka tingkat kontrol yang tinggi terhadap berbagai aktivitas yang dilakukan di wilayahnya (Liu, 1994; Woodwood, 1997). Seperti halnya pada pemberdayaan terhadap subak, pemberdayaan masyarakat perdesaan juga dilakukan melalui pendampingan. Pada kasus di wilayah Jatiluwih, misalnya, masyarakat perdesaan meliputi mereka yang berada di wilayah desa dinas dan desa adat. Kedua desa ini perlu diberikan pemahaman mengenai pengelolaan ekowisata guna menghindarkan konflik-konflik baik secara internal maupun eksternal. Kerjasama yang mutualisme merupakan aspek yang penting untuk didorong guna mensinergikan antara pengembangan ekowisata dan pengembangan masyarakat perdesaan itu sendiri.
            Secara umum, pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam kaitannya dengan pengembangan ekowisata dapat meliputi pemperdayaan ekonomi, psikologi, politik dan sosial (Scheyvens, 1999). Secara ekonomis, pemberdayaan diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomis yaitu tambahan pendapatan bagi masyarakat lokal dengan sistem proporsional di antara para pelaku. Secara psikologis, pemberdayaan yang dilakukan diharapkan mampu meningkatkan rasa kebanggaaan masyarakat lokal karena adanya pengakuan dari masyarakat luar atau wisatawan terhadap berbagai budaya dan nilai-nilai tradisional yang dimiliki, seperti budaya pertanian dan nilai-nilai kebersamaan serta nilai-nilai religious subak dan masyarakat perdesaan.  Pemberdayaan politik yang dilakukan ditujukan untuk meningkatkan peran masyarakat perdesaan, misalnya melalui forum-forum yang ada sehingga mereka dapat mengambil keputusan penting yang berkenaan dengan pengembangan ekowisata. Sedang pemberdayaan social diarahkan untuk mewujudkan rasa solidaritas dan kohesi yang semakin tinggi di antara warga masyarakat di dalam pengelolaan ekowisata. Manfaat ekonomis dari pengembangan ekowisata dapat digunakan untuk membangun atau merehabilitasi fasilitas-fasilitas umum dan sosial lainnya.

2.3.3 Kebijakan pemerintah yang kondusif
            Secara eksternal, kebijakan pemerintah yang diperlukan dalam pengembangan ekowisata di wilayah subak, seperti di kawasan jatiluwih adalah berkenaan dengan penanaman modal atau investasi di kawasan, penetapan tata ruang, perbaikan infrastruktur serta penguatan kapasitas masyarakat perdesaan dan subak. Kebijakan ini dimaksudkan agar tidak terjadi ekploitasi sumber-sumber daya alam (tanah dan air) di wilayah ekowisata dan sekitarnya. Selain itu, kebijakan ini bermanfaat untuk mengatur pengelolaan ekowisata yang saling bersinergi antara masyarakat subak, perdesaan dan pihak luar (swasta dan pemerintah).
            Secara riil, pengelolaan ekowisata ini memerlukan adanya peraturan perundang-undangan yang saling berintegrasi antar berbagai sector seperti pertanian, pariwisata, industri, pengelolaan sumber daya air, dan sektor lainnya yang terkait. Perbaikan infrastruktur sangat penting dalam mendukung pengembangan eowisata (seperti di kawasan Jatiluwih) sehingga akses menuju ke wilayah ekowisata menjadi aman dan nyaman.

2.3.4 Kemitraan sektor swasta
            Kemitraan merupakan salah satu factor penting di dalam pengelolaan ekowisata. Kondisi ini sangat wajar karena dalam pengelolaan ekowisata terdapat berbagai pemangku kepentingan yang terlibat. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengaturan untuk menjamin distirbusi dan alokasi manfaat, terutama manfaat ekonomis, dan pembagian tanggung jawab dalam pengelolaannya. Wilkinson dan Pratiwi (1995) menyebutkan bahwa pembagian pendapatan yang “adil” di antara para pemangku kepentingan akan dapat menjamin keberlangsungan pengembangan ekowisata di suatu wilayah. Dalam hal ini, pembagian yang adil dan proporsional tersebut dapat dilakukan mellaui kemitraan yang saling menguntungkan di atara mereka.
III PENUTUP
Pengembangan pariwisata di Bali tidak hanya dipandang sebagai bagian dari peningkatan ekonomi melainkan merupakan bagian dari upaya pelerstarian lingkungan atau ekosistem, seperti ekosistem sawah. Dalam pengembangan subak diperlukan upaya alternatif untuk yang dapat mewujudkan kelestarian sistem subak dan meningkatkan kesejahteraan petaninya. Sal;ah satu alternatif itu adalah pengembangan ekowisata di wilayah subak.
Beberapa tujuan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ekowisata adalah adanya jaminan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangannya yang berbasis komunitas, kepuasan wisatawan dan melebihi ekpektasinya, keuntungan bisnis bagi sektor swasta dan menciptakan iklim kondusif, dampak positif ekonomi, sosial dan lingkungan guna terwujud keseimbangan pembangunan.
Oleh karena itu dapat dilakukan beberapa kegiatan praktis yang melibatkan berbagai sektor atau pemangku kepentingan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi: (i) pemberdayaan masyarakat subak; (ii) pemberdayaan masyarakat perdesaan; (iii) kebijakan pemerintah yang kondusif; (iv) kemitraan sektor swasta dengan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Anom, I P., Baiquni, M, Narya, K. 2010. Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisi Global. Denpasar: Udayana University Press.
Chambers, R. 1983. Rural Development, Putting the Last First. New York: John Wiley

Ceballos-Lascurain, H. (1996). ¹ourism, ecotourism and protected areas. IUCN (World Conservation Union). Switzerland: Gland.

Cernea, M. 1991. Putting People First: Sociological Variables in Rural Development. New York: Oxford University Press.
Fennel, D.A. 1999. Ecotourism: An Introduction. Routlege, London.
Hermantoro, H. 2011. Creative-Based Tourism. Dari Wisata Rekreatif menuju Wisata Kreatif. Yogyakarta: Galangpress.
Korten, D.C.1987. Community Management, Connectitut :Kumarian Press,      Westaharford.

Liu, J. 1994. Pacific islands ecotourism: A public policy and planning guide. Pacific Business Center Program, University of Hawaii.

Mansperger, M. C. (1995). Tourism and cultural change in small-scale societies. Human Organization, 54(1), 87-94.
Mawere, M., Mubaya, T.R. 2012.  The Role of Ecotourism in Conserving the Environment and Enhancing the Status of Host Local Communities in Developing Economies: The Case of Mtema Ecotourism Centre in South-Eastern Zimbabwe. International Journal of Environment and Sustainability, 1(1), 1.
Scheyvens, R. 1999. Case study Ecotourism and the empowerment of local communities  Tourism Management 20: 247-248.

Sutawan, N., Swara, M., Windia, W.,  Sedana, G. dan Marjaya, I G.M.P. 1991. “Laporan Akhir Penelitian Aksi Pembentukan Wadah Koordinasi antar Sistem Irigasi (Subak-agung) di wilayah Kabupaten Tabanan dan Buleleng, Provinsi Bali”. Denpasar: Pusat Penelitian Universitas Udayana.
Sutawan, N. 2005. Subak Menghadapi Tantangan Globalisasi. Dalam Pitana dan Setiawan AP. editor.. Revitalisasi Subak dalam Memasuki  Era Globalisasi. Yogyakarta: Andi.

Syahyuti (2007). Kebijakan Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sebagai Kelembagaan Ekonomi Di Perdesaan. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian.  5 (1),15-25.

Wallerstein, N. 1992 Powerlessness, empowerment and health.Implications for health promotion programs.American Journal of Health Promotion, 6 (3), 197–205.

Wilkinson, P., dan Pratiwi, W. (1995). Gender and tourism in an Indonesian village. Annals of Tourism Research, 22(2), 283-299.

Woodwood, S. 1997. Report Ccashing in on the Kruger: The potential of ecotourism to stimulate real economic growth in South Africa. Journal of Sustainable Tourism, 5(2), 166.

Wood. E.M. 2002. Ecotourism: Principles, Practices & Policies for Sustainability, UNEF.